Kumandang azan terdengar merdu kala itu. Saat aku nantikan ia datang, sebagai pertanda sebuah kewajiban harus segera ditunaikan dan bukti berlalunya waktu siang.
Dengan bermacam reaksi, wajah-wajah bangun tidur, juga wajah yang memancar semangat tersembunyi, aku dan teman-teman bergegas menuju kamar mandi untuk berwudu sambil mengharap mendapatkan antrean pertama.
Aula luas yang menjadi tempat kami biasa berjamaah mulai terisi, dengung merdu dari lantunan Al-Qur’an menggema hingga ke langit-langit semen, sementara beberapa orang sibuk menghafalkan matan dan mengulang pelajaran pagi tadi.
Lantas, menoleh ke sudut-sudut aula, beberapa santriwati lainnya melaksanakan salat sunnah dua rakaat. Lantas aku pergi ke sudut balkon, tempat yang nyaman dengan semilir angin dan pemandangan langit. Tempat terpencil yang indah untuk bermunajat.
Baca juga: Sakitku, Alarm Hidupku!
Meskipun ibadah yang kami jalankan mungkin berbanding terbalik dengan sebagian orang di luar sana yang menenggelamkan diri dalam pesona dunia.
Ya, tidak dapat dimungkiri bahwa semua ini pun mungkin hanya sedikit dari ‘ritual harian’ yang dijalani para ulama serta tholibul ‘ilmi zaman terdahulu.
Tidak bisa kulupakan sekian banyak kisah yang telah lalu. Kala orang-orang terlena dalam buai mimpi, malam-malam mereka yang diberkahi, serta diterangi lentera iman teguh melawan dinginnya tiupan angin demi bersujud pada Rabb yang menciptakan langit dan bumi. Sembab menghiasi dua permata teduh mereka kala mengingat siksa-Nya, dan sebuah lantunan indah mengalir dari lisan-lisan nan fasih, sementara zikir dan doa pun senantiasa terpanjat.
Terik mentari bahkan badai, rela ditempuh untuk mendapatkan setetes air dari telaga ilmu yang tak pernah ada habisnya. Terkadang haus dahaga serta lapar menjadi teman setia penghias hari-hari di tanah rantau. Namun, semangat dan rasa ingin tahu benar-benar mengalahkan penderitaan para insan yang diberkahi.
Berkaca pada masa lalu …
Banyak sejarah hebat umat Islam yang terukir di dalamnya. Beribu kejayaan terdulang bak emas dari tambangnya. Keindahan yang terpancar dari peradaban saat syariat ditegakkan, membentang pada masa itu.
Kalimat tak terucap senantiasa bergema di pelosok dunia, bahwa kita adalah umat kuat dengan pertolongan langit yang pernah berjaya.
Baca juga: Dapatkah Ujian Membuat Kita Lebih Kuat?
Namun, kesalahan datang saat generasi penerus terperosok lubang tipu daya dan justru menikmati buaian masa lalu tanpa sadar bahwa perang yang sesungguhnya tengah berkecamuk dengan meriah.
Tanpa mengingat bahwa dunia adalah tempat semu yang selalu tersemat dalam daftar cita-cita sebagian orang. Bak mengejar bayang-bayang, mereka yang lalai tak lagi peduli jurang neraka terbentang di hadapan, memanggil mereka untuk terperosok dalam kenistaan.
Tanpa terasa, kini azan Magrib telah berkumandang menggantikan waktu Asar saat sang senja bertahta. Alunan lembut yang ditunggu-tunggu para santriwati agar bisa menikmati segelas air dan menu buka puasa sederhana.
Hari Kamis kala itu, jadwal kami berpuasa Sunnah.
Namun, ada yang sedikit rasa nyeri dan sedikit miris, ketika kami mencoba membandingkan diri kami dengan para pendahulu yang begitu menikmati dahaga dan menjadikan momen puasa sebagai sebuah keindahan serta ladang pahala.
Dulu saat ilmu begitu diagungkan, para guru dimuliakan, dan agama menjadi poin pokok kehidupan. Dulu saat ukhuwah terjalin erat, toleransi tiada disalahartikan, dan ulama berdampingan dengan masyarakat, menghempas kebodohan dari muka bumi. Dulu saat syariat adalah aturan. Dulu, saat semua begitu indah.
Menikmati masa lalu yang seperti tumpukan emas kejayaan memanglah sangat membuai.
Maka tugas generasi penerus ini untuk menggali harta karun peradaban dengan ilmu, dakwah, dan usaha. Menghiasi lagi ranah ilmu di tanah air yang telah menampakkan wujud indah dengan takwa serta tawakkal.
Masa lalu Islam memanglah begitu indah …, maka tak salah seseorang di zaman ini tengah merindukannya dan berharap semua kembali terulang, bukan?